Total Tayangan Halaman

301,405

Keris: Sejarah dan Asal Mulanya



Sejarah keris bermula dari tradisi penggunaan senjata tikam, yang dimulai sejak zaman megalitik. Sebenarnya belati-belati logam yang menjadi prototipe awal mula keris, berkembang dari teknologi alat dan senjata batu pada zaman purba. Selanjutnya, setelah peradaban mengenal pengecoran dan penempaan logam, senjata tikam yang berwujud belati purba mulai dikembangkan. Pada mulanya, alat senjata ini lebih bersifat fungsional, untuk kebutuhan dan tuntutan dinamika zaman yang berkembang. Lambat laun, terjadi perumitan pada tradisi senjata tikam tersebut, baik dari sisi kompleksitas fungsi ergonomis dan aerodinamis, hingga penyematan simbol-simbol dengan makna khusus yang hendak disampaikan. Kriteria tertentu diperlukan bagi sebuah senjata untuk dapat disebut sebagai keris. Bagian ganja (guard) di bagian bawah bilah, serta bentuk bilah tikam yang melengkung condong ke dalam (condhong léléh), adalah hal penting untuk menggolongkan suatu senjata dalam ranah perkerisan. Selain itu, ciri metalurgi yang tercipta pada bilahnya juga menjadi indikasi keabsahan suatu senjata dapat digolongkan dalam keris. Semisal, bahan baja pada pinggir sisi tajam (slorok), lalu bahan besi dan pamor yang ditempakan di bagian tengah (coating/laminating).

Dewasa ini keris banyak digubah dalam selera keindahan seni murni, namun seyogyanya pembuatan keris kreasi baru tetap tidak meninggalkan fungsi dasarnya sebagai senjata tikam. Kendati dewasa ini keris sudah tidak digunakan sebagai senjata, disain ergonomis keris sebagai senjata tetap tidak boleh diabaikan. Pada masa lalu pun banyak keris pusaka yang dibuat dengan seni yang indah dan dengan bentuk yang kecil serta tipis (seperti pada patrem dan keris pesanan khusus), tetapi tetap tidak melupakan logika bentuk fungsi sebagai senjata tikam. Sejarah singkat keris adalah belati tikam yang dikembangkan menjadi prototipe keris di pulau Jawa (zaman transisi awal Mataram Hindu-Buddha), yang mengalami perumitan pada dinasti-dinasti berikutnya, lalu disebarluaskan oleh Majapahit dengan politik Nusantara-nya ke hampir seluruh wilayah archipelago Asia Tenggara. 

Kemudian, keris mengalami stilasi (penggayaan) lokal pada tiap daerah, sehingga menampilkan gaya zaman pembuatan yang berbeda-beda. Kekhasan keris pada kedaerahan dan zaman masing-masing disebut dengan istilah tangguh. Berbeda dengan istilah ‘tangguh’ dalam bahasa Indonesia yang bermakna ‘tegar’ dan ‘kokoh’, tangguh dalam bahasa Jawa untuk istilah keris berarti klasifikasi berdasarkan gaya kedaerahan dan zaman pembuatan. Selain untuk menggolongkan ciri keris, istilah tangguh dalam bahasa Jawa juga digunakan untuk mengklasifikasi kuda dan burung perkutut.
Pasca kemunduran Majapahit, bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak Islam sebagai pengisi kekuasaan selepas Majapahit. Tak berbeda dengan pendahulunya yang berkuasa dengan simbol-simbol politik, kerajaan Islam di Nusantara pun memerintah dengan simbol regalia kebesaran kerajaan. Salah satunya dengan pusaka keris, sebagai legitimasi politik dan mitos sentralisasi kekuasaan Nusantara.

Alkulturasi budaya keris dalam dimensi ide, sosial, dan teknologi, dengan budaya yang bernafaskan Islam lalu kebudayaan Eropa yang menyusul datang ke Nusantara, menjadikan wajah keris menjadi semakin kompleks dan sarat dengan keberagaman. Simbol-simbol keagamaan dari Islam dan pengaruh kolonial, bercampur dengan ide-ide awal yang sudah terkristal sejak zaman megalitik hingga kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha.

Asal Mula Kata Keris

Kemunculan istilah keris bermula dari kata ‘krés’ yang tertera dalam prasasti-prasasti kuna di pulau Jawa. Salah satu prasasti tertua yang menyebutkan istilah ‘krés’ adalah prasasti Karangtengah. Prasasti perunggu Karangtengah berangka tahun 746 Saka menyebut nama Patuk dan krés. Di dalam prasasti ini juga disebutkan nama peralatan : … lukai 1, punukan 1, wadung 1, patuk krés 1…(sisi B baris 47). Djoko Soekiman, di dalam buku Keris Sejarah dan Fungsinya (1983;3). Istilah ‘krés’ ditengarai mengacu pada onomatope (konsep peniruan suara) bunyi senjata tikam ketika digunakan untuk menusuk atau mengiris. Pada perkembangan selanjutnya, kata ‘krés’ berubah menjadi ‘keris’, juga masih mengacu pada onomatope bunyi senjata tikam ini ketika digunakan. Pada uraian-uraian prasasti di atas, gambar dan tulisan tentang keris, menyinggung soal senjata-senjata dan alat-alat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai karunia untuk kehidupan.

Pendapat lain diutarakan oleh Gusti Hadiwidjojo dari Kasunanan Surakarta, mengatakan bahwa kata keris berasal dari bahasa Jawa kuno, akar kata kris dalam bahasa Sanskrit berarti menghunus. Sementara seorang guru besar agama Islam di Yogyakarta Ki Moesa Al-Mahfoed, berpendapat bahwa kata keris berasal dari kata harist, yang berarti ‘penjaga keselamatan diri’. Sebutan lain untuk keris adalah wangkingan, ialah keris beserta dengan warangka yang selalu atau sedang disandang di pinggang bagian belakang. Ada kemungkinan nama tersebut berkaitan dengan kata cangking (jinjing) dan kata wingking (belakang). Kata wangking dalam bahasa Jawa kuni artinya “pinggang”. Diwangking artinya diselipkan di pinggang belakang.

Di Indonesia, khususnya Jawa, keris telah di kenal sejak zaman Buda (zaman pra- Islam di Jawa). Perkembangan ilmu pembuatan keris, ilmu pengolahan pamor hingga pemahaman makna filosofi keris dari masa ke masa berkembang maju, sampai pada masa kerajaan Singosari-Majapahit dan Mataram Sultan Agung, bahkan sampai sekarang. Keris telah diposisikan sebagai suatu benda multi fungsi dan multi makna. Keris selain berfungsi sebagai sikep atau piyandel, ada pula keris yang digunakan sebagai senjata pamungkas saat peperangan. Keris juga bisa digunakan sebagai sengkalan atau pertanda atas suatu kejadian penting, serta berbagai fungsi keris lainnya. 

Kebanyakan orang selalu mengaitkan senjata berkelok (luk) dengan keris. Kemudian, jamaknya orang awam sering melekatkan keris dengan segala hal yang mistis dan syirik, berlawanan dengan agama. Hal yang tidak kalah memprihatinkan adalah tindakan sebagian masyarakat yang menjauhi keris karena dianggap kuna, tidak modern, ketinggalan zaman, tidak trend, berbahaya, senjata tajam dan tidak perlu dilestarikan. Sedangkan pedang tradisional Jepang, katana, senjata pedang Eropa, dan pedang Arab malah lebih disukai.

Berbagai contoh kesalahfahaman tentang keris, menunjukan betapa ilmu pengetahuan sangat penting untuk menyadarkan masyarakat. Peran aktif ulama dan para pamong diharapkan juga dapat menjembatani kesalahfahaman pada keris dalam masyarakat. Kegentingan pemahaman akar budaya pada masyarakat dapat menyebabkan terombang-ambingnya arah perjalanan bangsa ke depan, otomatis membahayakan ketahanan bangsa dan negara. Begitu pula dengan keris, sebagai salah satu akar budaya Nusantara.

* Referensi:
Unggul Sudrajat, Dony Satriyo Wibowo. Keris: Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014 hlm. 8-14.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer