Total Tayangan Halaman

Keris: Warisan Peradaban Luhur Para Leluhur




Keris termasuk kelompok senjata tikam yang terdapat di Asia Tenggara, khususnya di kepulauan Nusantara. Berbicara tentang keris, berarti berbicara tentang kehidupan masyarakat Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan daerahdaerah lain, seperti Sumatera, semenanjung Malaya dan Filipina. Dalam perkembangan selanjutnya, disebabkan beberapa faktor seperti keadaan geografis, dan pengaruh lingkungan, muncul perbedaan bentuk dan fungsi dari keris sebagai senjata tikam tersebut di berbagai zaman dan beragam wilayah. Keris pada masa lalu, khususnya dalam masyarakat Jawa, didukung oleh dorongan budaya bahwa manusia Jawa zaman dulu baru lengkap bila mempunyai wisma (rumah), wanita (istri), turangga (kuda/kendaraan), kukila (burung, artinya bisa menikmati keindahan/rekreasi), dan curiga (keris, untuk membela diri dan negara). Bagi orang Jawa keris sebagai senjata tusuk (landhep) bisa diinterpretasikan maknanya sebagai kecerdasan, ke-waskitha-an, ketajaman perasaan, intuisi, dan ilmu pengetahuan. Seperti yang dikatakan Solyom dalam bukunya The World of The Javanese Keris (1988; 5).

Ungkapan dan pemaknaan seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa, keris telah terbebaskan dari batasan fungsinya sebagai senjata praktis dalam kehidupan orang Jawa. Keris bukan lagi semata-mata senjata tusuk, tetapi telah berkembang fungsinya menjadi tanda bermakna. Suatu tanda yang dapat digunakan untuk menyatakan atau mengungkapkan nilai-nilai, konsep-konsep filosofis, dan atau pegangan hidup yang dianggap luhur. Keris Jawa yang lengkap mempunyai bagian-bagian sebagai berikut. Pertama bagian ukiran (hulu keris), kedua bagian mendhak (hiasan di bawah ukiran), ketiga bagian wilah (an) atau bilah keris, keempat bagian warangka atau sarung keris, dan kelima bagian pendhok atau pembungkus warangka. Bilah keris sendiri mempunyai bagian-bagian yang biasa disebut ricikan bilah keris. Sebenarnya, yang disebut keris itu hanya bilahnya saja, tetapi dalam perkembangannya kesatuan dari keseluruhan itu akhirnya dinamakan keris.

Seorang pembuat bilah keris secara tradisional disebut empu (empu juga untuk menyebut para ahli di bidang budaya yang lain), pembuat warangka dan ukiran disebut mranggi. Bilah keris tanpa bagian-bagian lain yang disebut perabot keris, dianggap tidak lengkap. Saat keris itu dilihat secara keseluruhan dengan warangkanya, maka akan tampak kesatuan yang harmonis antara manusia yang digambarkan menaiki perahu mengarungi samudera Kehidupan). Demikian juga bila diamati hiasanhiasan keris, baik pada ukiran (hulu), warangka, maupun pada wilahan (bilah) dan pendhok adalah suatu karya seni tinggi yang memerlukan keahlian dan keterampilan yang sempurna.  Pembahasan tentang makna dan simbol pada keris sangat berkaitan dengan dhapur yang berarti ketentuan bentuk atau wujud. Khazanah perkerisan mengenal dua bentuk umum keris yaitu lurus dan luk, serta perlengkapan detail atau ricikan yang disandangnya. Dengan demikian keris lurus atau luk tertentu dengan ricikan tertentu punya nama dhapur tertentu. Timbul Haryono, dalam bukunya Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni (2008;50) mengatakan bahwa salah satu hal yang membuat keris melebihi senjata tajam jenis lain ialah keris mempunyai pamor. Pamor berupa lapisan-lapisan logam berwarna lebih terang dari warna logam besi bahan bilah yang ’menempel’ pada kiri kanan bilah keris melapisi bahan baja slorok keris, membentuk motif tertentu seolah menghiasi permukaan bilah keris.

Teknologi pengolahan logam termasuk ’extractive technology’ yaitu teknologi dengan prosesnya ’mengurangi’, dari bahan dasar kemudian direduksi sampai menjadi bentuk artefak. Diawali dari tahap pengadaan bahan mentah, dari penambangan bijih logam, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan untuk mendapatkan bahan siap pakai, sampai kemudian menjadi artefak. Proses rumit itulah yang kemudian melahirkan pengetahuan ’metalurgi’. sebagai revolusi pencapaian manusia, karena manusia telah mampu meningkatkan pengetahuan teknologi api yaitu dengan menghasilkan suhu panas yang sangat tinggi untuk dapat melebur bijih besi (titik lebur besi adalah 1535o Celcius). Pada awalnya metalurgi lebih dianggap sebagai seni daripada ilmu/sains, namun dalam perkembangannya kemudian metalurgi menjadi sains dalam pengertian bahwa metalurgi lebih berhubungan erat dengan ilmu-ilmu eksakta. Sekarang ini metalurgi dapat di pandang sebagai seni sekaligus sains.
 
Estetika keris muncul bila diasosiasikan dengan keampuhan atau kesaktian keris. Namun tidak mudah mengaitkan keampuhan dengan keindahan keris. Seandainya dapat ditemukan petunjuk bahwa keampuhan keris memang berhubungan dengan keindahannya, maka diperkirakan keampuhan keris disebabkan oleh daya pengaruh psikologis yang menggugah rasa pesona. Sebuah keris dikatakan ampuh karena mampu menampilkan pesona keindahan, sehingga keampuhan keris sekaligus juga berarti keindahannya. Keris oleh orang Jawa juga dipandang sebagai benda seni yang bersejarah, merupakan benda pusaka, azimat, yang melambangkan kejujuran, sifat ksatria, sifat menepati janji, sifat pantang menyerah, dan lain sebagainya. Kebanyakan pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, dan lain-lainya dalam berbagai dokumen sejarah selalu tampak terlihat atau digambarkan menyandang keris di pinggangnya. Atas dasar makna tersebut, keris sebagai pusaka dapat dan pernah menjadi sumber inspirasi bagi perlawanan-perlawanan orang Jawa terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Perlawanan terhadan penjajahan Belanda pada saat itu, sepertinya didasarkan pada kultus pusaka atau keris. Walaupun demikian tampak bahwa dalam karya-karya sastra zaman penjajahan telah mengalami semacam tindakan pembredelan karena dikhawatirkan dapat menyulut perlawanan. Sebagai akibatnya, untuk mendapatkan informasi tentang kultus pusaka atau keris dan nenek moyang berdasarkan penulisan zaman penjajahan sangat kecil kemungkinannya. Namun demikian hal tersebut justru mengindikasikan bahwa keris sebagai pusaka mempunyai muatan nilai-nilai atau semangat kepahlawanan untuk melawan penjajah dan ketidakadilan. Keris seakan-akan telah menjadi wadah atau sarana bagi pewarisan nilai-nilai semacam itu dari nenek moyang kepada keturunannya. Jadi dalam hal ini penciptaan dan pemilikan keris dapat memiliki arti sebagai suatu sosialisasi nilai-nilai historis dalam memperjuangkan keberlangsungan bangsa.

Keris adalah salah satu benda budaya, terlebih lagi sebagai karya seni keris memenuhi unsur kebudayaan karena benda itu lahir dari akal budi dan pikiran manusia, sementara itu budaya keris sendiri sangat akrab hubungannya dengan unsur budaya yang lainnya, seperti tata busana adat, upacara, dan berbagai kebiasaan serta tradisi dalam masyarakat. Sir Thomas Stamford Raffles, dalam bukunya, The History of Java (Raffles, 2008), mengatakan senjata keris mendapat kedudukan istimewa pada prajurit Jawa. Mereka umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus, yaitu keris yang di sebelah kiri berasal dari mertua, keris di sebelah kanan dari orang tua, keris di belakang adalah keris miliknya sendiri. Warna besi dan wujud keris biasanya dikaitkan dengan keampuhan, tuah, zaman pembuatan, serta pembawaan empu yang menciptakannya dari pada dikaitkan dengan keindahan keris. Namun tidak berarti bahwa keris sama sekali tidak mengandung persoalan estetik. Sesuai dengan perkembangan zaman, pembuatan keris secara tradisional makin berkurang dikarenakan kemajuan teknologi sehingga keris dapat dibuat dalam jumlah banyak.

Pada zaman dahulu pembuatan sebuah keris oleh seorang empu akan memakan waktu sekitar beberapa bulan sampai satu tahun atau lebih, sesuai dengan kaidah pembuatan keris secara tradisional. Masyarakat Jawa memandang keris sebagai pusaka berawal dari kepercayaan masyarakat bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu menyatunya secara harmonis unsur lelaki dengan unsur perempuan. Tuhan menciptakan makhluk dalam dua jenis kelamin yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar keraton di Jawa, seperti keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kepercayaan itu mulanya dari lingga-yoni Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa, yaitu kepercayaan tentang ‘bapa angkasa’ dan ‘ibu bumi pertiwi’. Kepercayaan tersebut terwujud dalam bentuk upacara ‘kirab pusaka’ tiap tanggal satu bulan Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan keraton yang terdiri dari senjata pusaka seperti keris dan tombak. 

* Referensi:
Unggul Sudrajat, Dony Satriyo Wibowo. Keris: Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014 hlm. 14-18.


Komentar

Postingan Populer