Penangguhan Keris
Keris yang dibuat dengan jenis dhapur yang sama namun
dibuat pada zaman yang berbeda dan dibuat di tempat yang berbeda, tentunya akan
menghasilkan tampilan fisik bilah keris yang berbeda pula. Penampilan bilah
keris dengan gaya zaman dan gaya kedaerahan tertentu disebut dengan istilah
tangguh. Boleh jadi sebilah keris dengan ciri tangguh tertentu memang benar
dibuat pada zaman dan daerah tangguh itu, tapi bisa juga sebenarnya hanya
putran (duplikat), yang dibuat di zaman sesudahnya dan di daerah pembuatan yang
berbeda.
Pengetahuan yang khusus memandu tentang tangguh keris
sering disebut kawruh bab panangguhing dhuwung, biasanya bersumber dari tulisan-tulisan
tertentu. Tulisan tentang tangguh keris yang menonjol adalah karya Mas Ngabehi
Wirasoekadga, seorang abdi dalem mantri pandhé Kadipatèn Anom di Keraton
Kasunanan Surakarta. Penaksiran tampilan dari suatu bilah keris, biasanya
digunakan deskripsi dan candra (di-candra) untuk memperoleh kepastian dari
sikutan keris, yang disebut dengan pasikutan. Dengan demikian pasikutan
berkaitan dengan telaah kritis terhadap bentuk, keserasian dan keindahan,
keanggunan atau kemeriahan dari bilah keris, juga ketegasan penciptaan dari
bilah, kesesuaian dengan pola, serta ketepatan dari kelengkapan-kelengkapan
yang ada pada permukaan bilah keris.
Istilah untuk pasikutan yang biasa digunakan untuk menilai
tampilan dari suatu bilah keris. Misalnya, penampilan yang kaku (janggal),
wingit (angker), prigel (tangkas), sedheng (sedang), dhèmes (rapi mengesankan),
wagu (kurang serasi), odhol/agal (kasar), kemba (hambar), tanpa semu (tidak
berkesan), sereng (keras, galak), dan bagus (tampan). Keris-keris dengan
tampilan semacam ini dianggap menggambarkan kreativitas karya-karya para empu,
yang dapat dikelompokkan menurut zaman atau wilayah, kemudian
bentukan-bentukannya yang terlihat menonjol yang oleh para ahli keris dibakukan
dan dianggap sebagai suatu pola yang normatif.
Pembakuan penilaian ciri seperti itu tampaknya di samping
dilakukan dengan cara menonjolkan ciri-ciri dari kemampuan garap tiap individu
(maupun kolektif dari kelompok) empu pembuatnya, juga dianggap
merepresentasikan karakter keris dari tangguh masing-masing ‘wilayah’-nya itu
(secara politik dan kultural). Tangguh merupakan suatu perkiraan yang berasal
dari proses penerapan metode pasikutan, dengan memeriksa keadaan pembuatan
ricikan dan dhapur, serta dari tampilan lukisan motif gambar pamor, serta bahan
logam besi dan baja yang digunakan.
Berikut di bawah ini adalah pengelompokan tangguh keris
keris berdasarkan wilayah dan zaman dengan ciri-ciri dari tampilan, bahan-bahan
yang digunakan, dan teknik pembuatannya berdasarkan uraian Bambang Harsrinuksmo
dalam Ensiklopedi Keris (2004; 460-463), dan S. Lumintu dalam Tangguh dan Nama
Empu keris (2002; 3-10).
a. Tangguh Pejajaran, dengan gejala ciri tampilan:
pasikutan kaku, dasar besi kering, keluarnya pamor tancep pandhes dan lembut;
b. Tangguh Majapahit, dengan gejala ciri tampilan:
pasikutan wingit, berkesan prigel, lumer, dasar besi kering kebiruan, pamor
tancep pandhes;
c. Tangguh Blambangan, dengan gejala ciri tampilan:
pasikutan rapi mengesankan, besi seakan basah, pamor nggajih tetapi tancep
pandhes;
d. Tangguh Sedayu, dengan gejala ciri tampilan: pasikutan
sedikit rapi mengesankan, besi basah kurang guwaya, pamor kurang tancep dan
mengambang;
e. Tangguh Tuban, dengan gejala ciri tampilan: pasikutan
sedang, besi gangsing, pamor pandhes mungal, dan patut;
f. Tangguh Sendhang, dengan gejala ciri tampilan:
pasikutan kurang serasi, besi terasa basah, pamor mengambang;
g. Tangguh Demak, dengan gejala ciri tampilan: pasikutan wingit,
besi basah, pamor mengambang;
h. Tangguh Pajang, dengan gejala ciri tampilan: pasikutan
kemba, besi odhol gangsing, pamor tidak berhasil berkembang secara baik;
i. Tangguh Koripan, dengan gejala ciri tampilan: pasikutan
kemba tidak berkesan, hbesi gangsing, pamor adeg kebanyakan nyanak;
j. Tangguh Madura, dengan gejala ciri tampilan: pasikutan
dhèmes pantes, besi kengkeng matang ladak, pamor mungal banyak yang nggalih,
keras dan tajam jika diraba, dengan watak kurang tua, dikhawatirkan akan dapat
patah jika terkena serangan (tan watak kurang sepuh, para tugel lamun tinempuh
pakéwuh);
k. Tangguh Mataram ada dua bentuk. Pada Mataram Sénapatèn
dengan ciri pasikutan prigel dan bagus, besi agak kebiruan, besi kering halus,
pamor tancep pandhes, ngawat, kencang dan keras. Bentuk lainnya adalah Mataram
Sultanagungan dengan gejala ciri, pasikutan dhèmes bagus, besi agak mentah,
pamor kebanyakan mubyar putih.
Mas Ngabehi Wirasoekadga dalam Serat Pananggoehing Dhoewoeng
(1936;36-40), mengemukakan 19 kelompok periode dari tangguh keris dengan ciri
masing-masing karya dari para empu, yang tiap-tiap karyanya disimpulkan dengan
candra sesuai tampilannya dengan rinci dan ketat. Pengelompokannya adalah
sebagai berikut:
a. Tangguh
Pejajaran: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya
masing-masing, di antaranya: Ki Keleng; Ki Kuwung; Ki Loning; Ki Angga; para
empu di Pagelen; Ki Sikir di desa Tapan; Ki Siung Wanara (Arya Banyakwidé).
b. Tangguh
Tuban: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya masing-masing,
di antaranya: Ki Panekti; Ki Suratman; Ki Modin; Ki Galaita; Ki Bekel Jati; Ki
Supadriya; Ni Mbok Sombro; Ki Jirak.
c. Tangguh
Madura: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya masing-masing,
di antaranya: Ki Kasa; Ki Macan; Ki Kacang; Empu Tuju Madura.
d. Tangguh Blambangan: merupakan pengelompokan dari para empu
dengan ciri karya masing-masing, di antaranya: Ki Mendhung; Ki Tembarok; Ki
Supagati; Pangeran Pitrang.
e. Tangguh
Majapahit: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya
masing-masing, di antaranya: Ki Supadriya; Ki Supagati; Ki Jaka Supa; Ki Jigja;
Ki Angga Cuwiri; Ki Singkir Wanabaya; Empu Pekelun (Perkumpulan dari para Empu
di negara Majapahit, seperti : Desa Taruwangsa, Majasta, Banyubiru, Tembayat,
Serang, dan sebagainya).
f. Tangguh
Sedayu: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya masing-masing,
di antaranya: Pangeran Sedayu; Empu panjak Sedayu (yang dikelola oleh Pangeran
Sedayu), atau para sahabat lainnya.
g. Tangguh
Jenu (letaknya berdekatan dengan Jipang): merupakan pengelompokan dari para
empu dengan ciri karya masing-masing, di antaranya: Adipati Jenu, yakni Ki Jaka
Sura.
h. Tangguh
Tiris Dayu: merupakan pengelompokan dari para empu keris dengan ciri karya
masing-masing, di antaranya: Ki Siki.
i. Tangguh
Sétra-Banyu (dari Desa Tesih): merupakan pengelompokan dari para empu dengan
ciri karya masing-masing, di antaranya: Ki Setra.
j. Tangguh Madiun: merupakan pengelompokan dari para empu dengan
ciri karya masing-masing, di antaranya: Ki Kodhok (Ki Supa Nom), serta karya
para sahabatnya.
k. Tangguh Demak, para empu pembuatnya tidak diketahui (anonim),
dengan ciri tampilan: ganja keris umumnya rata, gulu mèlèd kecil, sirah cecak
ngluncup, bangkèkan singset, buntut urang papak, seblakanipun ruruh, wasuhan
pamor muyek menarik hati, besi berwarna kuning terasa kemba, posisi bilah
andhekung kidhung, jika memakai kembang kacang nyantheng, jalèn mayat
sumungkem, lambé gajah moncèr dan panjang, pèjètan dalam sempit, sogokan
panjang kèder lebet, awak-awakan ngruwing, tetapi terlihat kendho, jika
menggunakan rojèhan ri pandhan ngetumbar, jika keris lurus posisi membungkuk,
jika menggunakan gandhik, gandhiknya sedang keder, tikel alis jugag.
l. Tangguh
Cirebon (anonim), ganja umumnya merata biasanya iras, gulu mèlèd pendek, sirah
cecak buweng, buntut urang methit, seblakipun keras ampang, wasuhan madya,
pamor kurang lulut, kembang kacang seperti kecambah, keris kebanyakan
kecil-kecil dan pendek, termasuk besi yang berdampingan iras dengan bilah,
keris lurus atau luk kelihatannya sama, sogokan gatra panjang kèder lebet,
dhapur kurang ntapan, seperti dhapur seking.
m. Tangguh
Kudus (anonim), ganja umumnya merata, gulu mèlèd menggik pendek, sirah cecak
lancip pendek, buntut urang papak, seblak lunyu, wasuhan pamor kurang lulut,
pamor lamat-lamat, nujèn sajak semburat, kebanyakan keris sempit, keris lurus
maupun luk rasanya mempunyai lagu yang sama, semu nujèn.
n. Tangguh
Pajang: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya masing-masing,
di antaranya: Ki Umyang, dan para sahabatnya.
o. Tangguh
Pajang Mataram: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya
masing-masing, di antaranya: Ki Arya Japan.
p. Tangguh
Mataram: merupakan pengelompokan dari para empu dengan ciri karya
masing-masing, di antaranya: Ki Umaji; Ki Legi; Ki Guling; Ki Nom; Ki Pangèran
Sendhang.
q. Tangguh Ngèntha-èntha
di Mataram berasal dari nama Empu Henthawayang, dengan ciri penampilan: ganja
umumnya merata, gulu mèlèd macam-macam, sirah cecak juga demikian, bangkèkan
warna-warna, buntut urang lancip, embatnya warna-warna, awak-awakan ganja
tipis, seblakan kemba, wasuhan pamor kurang lulut, keris yang baik adalah yang
seperti puh, sereng grengseng mathentheng kemba.
r. Tangguh
Kartasura: merupakan pengelompokan dari buatan para empu keris dengan ciri
karya masing-masing, di antaranya: Ki Lujuguna; Ki Macan; Ki Brajaguna I.
s. Tangguh
Surakarta: merupakan pengelompokkan dari para empu keris dengan ciri karya
masing-masing, di antaranya sebagai berikut:
1) Ki
Brajaguna II (Susuhunan Paku Buwana IV);
2) Ki
Brajaguna III (Susuhunan Paku Buwana V);
3) Ki Tirta
Dangsa di Mangkubumèn; Ki Brajaguna IV (Susuhunan VI-VII)
4) Ki
Brajaguna V, Ki Jayasukadga, Ki Japan, Ki Singawijaya, Ki Brajasetama
(Susuhunan Paku Buwana IX);
5) Ki Jayasukadga, Ki Wirasukadga, Ki Mangunmalela (Susuhunan
Paku Buwana X)
Selain tangguh
Surakarta, juga dikenal tangguh keris Yogyakarta. Surakarta dan Yogyakarta
adalah dua kerajaan yang didirikan berdasarkan Perjanjian Giyanti tahun 1755,
ialah pembelahan kerajaan Mataram Islam menjadi dua. Tangguh keris Yogyakarta
dikembangkan oleh para empu yang terkenal dari keraton Yogyakarta, ialah: Empu
R.M. Supajaya (zaman Hamengku Buwana I), Empu Japan II dan Empu Kartayuda
(zaman Hamengku Buwana IV-V), Empu Lombang, Empu R. Panewu Kartawigena, Empu
tumenggung Wangsawijaya, Empu Jayasemita, dan Empu Tumenggung Riyakusuma (zaman
Hamengku Buwana IV-V), Empu R. Panewu Prawiradahana, Empu Wedana Prawirodipuro,
(zaman Hamengku Buwana VII-VIII), Empu R. Bekel Tarunadahana (zaman Hamengku
Buwana VIII).
Di wilayah Yogyakarta, di samping tangguh Istana Hamengku Buwana
(HB), terdapat juga tangguh keris Pura Paku Alam (PA) dan tangguh Ngentha-entha
lanjutan seperti karya Empu Supowinangun, Empu Harumbrojo dan Empu Sungkowo.
Adapun di wilayah Surakarta hanya berkembang tangguh keris dari Istana Paku
Buwana (PB) dan tangguh karya empu dalam lingkup Pangeran Mangkubumi
(Mangkubumen), sedangkan Pura Kadipaten Mangkunegaran tidak mengembangkan
tangguh keris karena sudah menjadi kesepakatan dalam Perjanjian Salatiga.
* Referensi:
Haryono Haryoguritno, Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar, Jakarta: PT Indonesia Kebanggaanku, 2006.
Unggul Sudrajat, Dony Satriyo Wibowo. Keris: Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014 hlm. 35-39.
Unggul Sudrajat, Dony Satriyo Wibowo. Keris: Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014 hlm. 35-39.
Komentar
Posting Komentar