Buku Spirit of Iron; The Life Story of Kris Crafters From Sumenep, Madura
Ada pertanyaan menggelitik dari saya, untuk saya sendiri. Kenapa harus memasukkan buku ini dalam blog Galeri Omah Nara ini? entah mengapa hal itu ingin saya jawab melalui puisi Kyai D. Zawawi Imron berikut ini. Beliau seorang sastrawan besar Madura, memiliki kedalaman dan kejernihan pikir yang luar biasa. Permenungannya yang telah mengantarkan buku yang disusun selama 9 bulan ini. Laiknya ibu yang mengandung, tepat 9 bulan buku ini lahir ke dunia, diterbitkan oleh Penerbit Tiara Wacana, dilaunching di Auditorium University Center UGM pada tanggal 22 Mei 2013 dengan semangat untuk saling berbagi, akan pelajaran hidup dari para empu dan pengrajin keris dari Sumenep, Madura kepada dunia. Selamat merenungkan!
PAMOR DARI AENG TONGTONG
PAMOR DARI AENG TONGTONG
Saat ini aku ingin bicara tentang keindahan
Tapi tidak dengan kata-kata
Agar kita masih bisa membaca senyum yang diwariskan para empu
sejak jaman purbakala
Pada saat Raden Wijaya
mencari hidup dan hidupnya ke Sumenep saat petaka bikin senja di Singhasari
dan tanah pun merah oleh darah
dan langit pun merah oleh api
Lalu aku jadi ingat Arya Wiraraja
yang membaca kejayaan tak cukup pada lembar-lembar lontar Juga pada gelombang samudra
dan riak-riak kecil sungai Saroka
Namun adakah samudra yang lebih luas
dari jiwa manusia merdeka?
Itulah kenapa kita harus membaca kembali sejarah yang tak sekadar mengambil abunya tapi, nyala yang berkobar pada keindahan pamor dari garis-garis misteri yang tersenyum
yang kita tak cukup merasa kagum
Maka berdirilah kerajaan Majapahit
yang mekar se-Nusantara
Karena keris dan tombak dari timur Madura yang bergambar malathe sato'or
yang berlukis kalare sakongkong
ikut bicara tak dengan kata
tapi dengan gerak tubuh yang nyata
Karena pamor adalah semangat
Karena pamor adalah keringat
Aku sebut Empu Keleeng, Joko Tole serta Juk Kareneng dari Banuaju Mereka telah meneteskan keringat untuk memberi harga dan marwah bagi hidup yang sebentar ini
Karena bukan garam kalau tidak asin Bukan lombok kalau tidak pedas
Maka hidup harus menuliskan keindahan dengan keringat pengabdian hingga pamor terus bicara
sesuai dengan tugasnya
Melangkah dari Sumenep ke Aeng Tongtong sambil kubaca ilalang mendesir
dan riak air
Pohon nipah menyambut angin semilir
dari Asta Anggasuta
Amboi, menoleh jauh ke belakang
Bukit Papan di Batuputih hampir tak kelihatan
Tapi Aeng Tongtong
Dengan tangan-tangan yang menampilkan kembali indahnya sejarah terus menyalakan api membara
hingga besi dan logam mulia
kembali berjiwa
Ujung keris itu seperti meneteskan embun
yang menjadi penyembur dahaga
Sejarah memang selalu berputar
Tapi Aeng Tongtong seperti tetap mencari
makna hidupnya sendiri
Seperti keindahan yang terselip
di sela sanubari
Di sini, aku ingat dulu kakek berfatwa
“Cucuku, yang sakti bukan besinya tapi hati manusianya”
NB:
Buku ini sudah dijual bebas di pasaran,
Harga: Rp. 150.000
Pemesanan bisa menghubungi Galeri Omah Nara
Telf/SMS: 081392611599
Agar kita masih bisa membaca senyum yang diwariskan para empu
sejak jaman purbakala
Pada saat Raden Wijaya
mencari hidup dan hidupnya ke Sumenep saat petaka bikin senja di Singhasari
dan tanah pun merah oleh darah
dan langit pun merah oleh api
Lalu aku jadi ingat Arya Wiraraja
yang membaca kejayaan tak cukup pada lembar-lembar lontar Juga pada gelombang samudra
dan riak-riak kecil sungai Saroka
Namun adakah samudra yang lebih luas
dari jiwa manusia merdeka?
Itulah kenapa kita harus membaca kembali sejarah yang tak sekadar mengambil abunya tapi, nyala yang berkobar pada keindahan pamor dari garis-garis misteri yang tersenyum
yang kita tak cukup merasa kagum
Maka berdirilah kerajaan Majapahit
yang mekar se-Nusantara
Karena keris dan tombak dari timur Madura yang bergambar malathe sato'or
yang berlukis kalare sakongkong
ikut bicara tak dengan kata
tapi dengan gerak tubuh yang nyata
Karena pamor adalah semangat
Karena pamor adalah keringat
Aku sebut Empu Keleeng, Joko Tole serta Juk Kareneng dari Banuaju Mereka telah meneteskan keringat untuk memberi harga dan marwah bagi hidup yang sebentar ini
Karena bukan garam kalau tidak asin Bukan lombok kalau tidak pedas
Maka hidup harus menuliskan keindahan dengan keringat pengabdian hingga pamor terus bicara
sesuai dengan tugasnya
Berbantal ombak
Berselimut angin
Panjang keris memang sehasta
Tapi pamornya harus menjulang menjangkau bintang
Itulah isyarat yang dibaca
bukan sebagai kata
tapi sebagai makna
Karena melati tak pernah berbohong dengan wanginya sendiri
Itulah isyarat yang dibaca
bukan sebagai kata
tapi sebagai makna
Karena melati tak pernah berbohong dengan wanginya sendiri
Melangkah dari Sumenep ke Aeng Tongtong sambil kubaca ilalang mendesir
dan riak air
Pohon nipah menyambut angin semilir
dari Asta Anggasuta
Amboi, menoleh jauh ke belakang
Bukit Papan di Batuputih hampir tak kelihatan
Tapi Aeng Tongtong
Dengan tangan-tangan yang menampilkan kembali indahnya sejarah terus menyalakan api membara
hingga besi dan logam mulia
kembali berjiwa
Ujung keris itu seperti meneteskan embun
yang menjadi penyembur dahaga
Sejarah memang selalu berputar
Tapi Aeng Tongtong seperti tetap mencari
makna hidupnya sendiri
Seperti keindahan yang terselip
di sela sanubari
Di sini, aku ingat dulu kakek berfatwa
“Cucuku, yang sakti bukan besinya tapi hati manusianya”
Kampus UGM Yogyakarta, 3 Maret 2013
NB:
Buku ini sudah dijual bebas di pasaran,
Harga: Rp. 150.000
Pemesanan bisa menghubungi Galeri Omah Nara
Telf/SMS: 081392611599
Komentar
Posting Komentar