Makna Keris Nagasasra, Sabuk Inten dan Sengkelat
Demikianlah
ketika para petani meninggalkan rumah Ki Paniling, kembali perhatian mereka
tertuju kepada orang tua yang sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah
abu-abu. Tetapi orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta
ikat kepala yang kehijau-hijauan.
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara telah mengenal wajah orang itu dengan baiknya sebagai seorang
Panembahan. Tetapi kali ini, dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang biasa
dipakainya, yaitu jubah putih, tampaklah bahwa wajah itu menjadi semakin segar.
Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan damai, seperti biasa, yang
seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat mata. Tetapi mata itu kini
memancar dengan terangnya menyorot ke depan, ke masa yang akan datang. Ke masa
yang tidak terlalu jauh. Maka seolah-olah terjadilah suatu paduan antara masa
depan yang dekat dengan masa yang tak teraba oleh pancaindera.
Ketika suara
sendau dan tawa para petani sudah hilang di kejauhan, orang tua itu agaknya
merasa perlu untuk melanjutkan keterangannya. Karena itu ia mulai berkata,
”Anak-anakku sekalian. Demikianlah tuah dari kedua
keris yang sedang kau cari itu. Ia baru bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa
keris itu sudah luluh dalam dirinya.
Pertandanya
bahwa keris itu sudah luluh ke dalam diri pemiliknya, adalah bahwa keris itu
kehilangan kecemerlangannya. Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu menjadi tak
ubahnya seperti besi biasa saja. Sama warnanya dengan sebuah pisau dapur saja.
Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang, maka orang itu
akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke dalam dirinya. Kyai Nagasasra
mempunyai watak disuyuti oleh kawula. Dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan
demikian ia akania akan memiliki unsur sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat
yang demikian memang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Pancaran dari
cinta kasih Tuhan, perikemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang
kehujanan dan kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan, memberi
pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan
jalan.
Sedang Kyai
Sabuk Inten mempunyai watak seperti watak lautan. Luas tanpa tepi. Menampung
segala arus sungai dari manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang
bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan dan
kesediaan bergerak dan bahkan selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang
memungkinkan seseorang dapat menemukan yang belum pernah diketemukan. Dan
karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat dijamin. Kesejahteraan lahir dan
batin. Memberi kesempatan kepada mereka untuk mengalirkan airnya yang ditampung
dapat beriak dengan manisnya, namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya,
seolah-olah lautan itu sedang mendidih.”
Orang tua itu
berhenti sejenak. Ia memandang berkeliling lalu melemparkan sorot matanya yang
damai itu lewat lubang pintu dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman.
Sekali-kali ia menarik nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu yang
kurang pada tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan,
”Sayang, bahwa kedua keris itu masih harus
dilengkapi dengan yang satu lagi. Kyai Sengkelat. Keris itupun sekarang sudah
lenyap dari perbendaharaan istana.”
”Kyai Sengkelat?” sela Mahesa Jenar
hampir berteriak.
Orang tua itu
mengangguk, jawabnya,
”Ya, Kyai
Sengkelat. Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada diri seseorang,
tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari tempat penyimpanannya. Padahal
Sengkelat pun tidak kalah pentingnya. Ia memiliki watak yang lengkap dari watak
seorang prajurit. Prajurit yang setia dan patuh akan kewajibannya, yang bekerja
dan berjuang bukan untuk kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan
berjuang untuk tanah tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh kejujuran dan
tanpa pamrih, dalam lingkaran kebaktian dan cinta kasih Yang Maha Agung.”
Suasana
kemudian menjadi hening sepi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan
sendiri. Mahesa Jenar yang dengan bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk
menemukan Kyai Sabuk Inten, bahkan usahanya itu belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya, tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun sedang lolos dari
simpanannya. Sedang Kebo Kanigara, sebagai seorang keturunan Brawijaya, menjadi
sedih pula. Bagaimanapun juga, ia masih selalu merindukan kebesaran yang pernah
dicapai oleh Majapahit dahulu.
Dikutip dari novel S.H. Mintardja, Nagasasra
dan Sabuk Inten Djilid 15.
Komentar
Posting Komentar