Keris sebagai Tradisi dan Penanda Sosial di Masyarakat
Setelah Mataram terbagi dua dengan perjanjian Giyanti, Kraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tetap melestarikan ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan tradisi perkerisan. Kendati dijumpai sedikit perbedaan di
antara keduanya, secara garis besar keris merupakan salah satu pelengkap busana
adat orang Jawa di samping kelengkapan lainnya seperti, baju beskap/surjan, ikat
kepala/blangkon, dan jarit/ kain panjang. Keris digunakan dalam acara
resmi, seperti perkawinan, upacara adat, dan ketika seseorang harus menghadap
raja atau atasannya.
Penggunaan keris sebagai pelengkap busana juga diatur sedemikian rupa. Misalnya, pada saat menghadiri acara resmi dan
formal, keris yang disandang harus memakai warangka ladrang (versi Surakarta)
atau branggah (versi daerah Yogyakarta). Sebaliknya, jika menghadiri acara
tidak resmi atau dalam acara rutin keseharian, keris yang dikenakan adalah
warangka gayaman. Selain itu, warangka gayaman juga dikenakan saat seseorang
pada suatu acara resmi bertindak sebagai petugas (bukan tamu), atau dituakan
sebagai sesepuh. Cara memakai keris pun memiliki pakem tersendiri sesuai
situasi yang dihadapinya, dengan ciri perbedaan antara cara pemakaian di
Yogyakarta dan Surakarta.
Dalam hal suksesi kepemimpinan Jawa, baik dari tingkat paling kecil di lingkungan keluarga hingga tinggal pemerintahan seperti di keraton, keris menjadi salah satu media suksesi kepemimpinan. Dalam keluarga jawa, keris disiapkan sebagai tanda amanah pergantian kepemimpinan dari orang tua kepada anaknya. Biasanya keris diberikan kepada anak sulung (laki-laki) di keluarga dan kemudian secara teratur akan diwariskan turun temurun. Anak sulung yang mendapat amanah keris diharapkan akan membawa keluarga tersebut untuk melanjutkan kepemimpinan orang tuanya. Pada titik inilah keris berfungsi sebagai tanda amanah dari orang tua kepada anak sulungnya agar merawat adik-adiknya (keluarga) dan membawa keharuman bagi keluarganya.
Hal ini juga berlaku di Kraton sebagai pusat kekuasaan di Jawa. Keraton Jawa memiliki tradisi pemilihan putera mahkota
yang akan melanjutkan menjadi dengan pemberian sebuah keris pusaka kerajaan
sebagai pengukuhannya. Kasultanan Yogyakarta mempunyai tradisi atas sebuah
keris pusaka yang bernama Kanjeng Kyai Jaka Piturun, yang akan diberikan oleh
sultan pendahulunya kepada sultan baru yang akan naik tahta. Zaman dahulu,
ketika seorang patih yang memakai gelar nama Danureja masih menjabat sebagai
patih di Kesultanan Yogyakarta, masing-masing Patih Danureja akan menyandang
keris Kanjeng Kyai Purbaniyat, yang juga akan diserah-terimakan kepada patih
penggantinya (Hamengku Buwana X, Kraton Jogja: The History and Cultural
Heritage, 2002: 145-146).
Pemakaian keris juga menjadi ciri dari kesatuan prajurit
keraton, beserta kepangkatannya. Seorang perwira tinggi dapat menyandang tiga
buah keris sekaligus. Masing-masing satu di pinggang bagian belakang
(mangking), satu di samping paha kiri (nganggar), dan satu diselipkan agak
tersembunyi di muka sisi perutnya (nyothé). Perwira menengah hanya menyandang
dua buah keris, tanpa yang di sisi perut. Prajurit rendahan mengenakan sebuah
keris saja serta membawa tombak atau pedang. Dalam pertempuran, senjata yang
digunakan oleh para prajurit memang berupa tombak, pedang, atau panah dan
senapan. Fungsi keris hanya digunakan untuk pertarungan jarak dekat, seperti
fungsi bayonet pada tentara masa kini.
Masyarakat Jawa berstruktur sesuai dengan tatanan yang
ditetapkan keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa, maka keris pun dijadikan
sarana penanda masyarakat yang aristokratis. Tradisi keraton Jawa, menyatakan
aturan khusus tentang keris, yang mengacu pada kedudukan, pangkat, dan status
sosial seseorang. Dalam tradisi keraton Surakarta misalnya, penanda itu
terdapat dalam aturan pendhok. Pendhok kemalo abrit (merah), diperuntukkan
khusus bagi raja dan kerabatnya, hingga yang berpangkat bupati. Pendhok kemalo
ijem (hijau) diperuntukkan bagi para bekel dan yang sederajat. Pendhok kemalo
cemeng (hitam) boleh dipakai oleh para abdi dalem rendah dan rakyat biasa.
Terdapat juga fenomena sosial pada keris yang menunjuk ke
pemberian keris khusus, saat seseorang dinaikkan pangkatnya oleh raja, sebagai
tanda pangkat yang baru. Deder (hulu keris) juga berkaitan dengan status sosial
pemiliknya. Raffles mengatakan tentang kebiasan Raja Yogyakarta yang
menghadiahi seseorang abdi dalem-nya saat naik pangkat dengan sebilah keris
yang deder-nya ber-wanda lebih tegak dari sebelumnya, sesuai pangkatnya yang
baru disertai tikar untuk duduk dan shalat (T.S. Raffles, The History of Java,
2008: 213).
Tradisi keris dalam kehidupan Jawa bahkan masuk ke dalam
sebuah ikatan perkawinan. Jika seseorang menikahi seorang perempuan Jawa, maka
ayah pengantin wanita akan memberikan sebuah keris sebagai pengikat tali
keluarga, yang biasa disebut dengan keris kancing gelung atau cundhuk ukel.
Keris itu menjadi simbol penyerahan tanggung jawab dari sang ayah mertua kepada
menantu yang untuk selanjutnya berkewajiban menjaga puterinya tersebut. Jika
pernikahan itu berujung pada perceraian, maka isteri yang diceraikannya itu
dipulangkan kembali beserta keris yang menjadi tanda kancing gelung
(Harsrinuksmo, 1993; 13).
Penghormatan kepada yang lebih tua, terlihat dalam
etika yang mengatur cara mengulungkan keris kepada orang lain. Bila seseorang
yang lebih muda usianya atau yang lebih rendah status sosialnya hendak
ngulungke keris kepada yang lebih tua atau yang lebih tinggi pangkatnya, maka
ia harus mengarahkan bagian warangka dan pangkal gandar terlebih dahulu, namun
jika sebaliknya, maka cukup ujung gandar bawah saja yang diarahkan kepadanya. Dewasa ini, keris memasuki ranah sosial yang lebih
kompleks dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pergeseran makna sosial yang
merupakan perubahan dari dinamika masyarakat, mau tidak mau menjadi kenyataan
perkembangan masyarakat Jawa. Dominasi kekuasaan yang berpindah dari politik
monarki kepada para pemegang kuasa elit modern dan pengusaha kaya, mempengaruhi
tradisi sosial dalam budaya keris Jawa. Keris sebagai penanda status sosial tinggi di masyarakat saat ini dapat dimiliki oleh siapapun yang mampu
membelinya, padahal pada zaman berlakunya keraton sebagai pusat budaya,
saudagar kaya sekalipun tidak boleh memiliki penanda-penanda kebangsawanan bila memang bukan dari garisnya meskipun ia mampu membelinya. Dengan memiliki kepemilikan atas pusaka-pusaka bergengsi
tinggi dari keraton, hal ini akan meningkatkan status sosial kolektor atau pemiliknya dalam kehidupan
masyarakat masa kini.
*Referensi:
Unggul Sudrajat, Dony
Satriyo Wibowo. Keris: Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014 hlm.
58-63.
*sumber foto:
Peter Carey. The Power of Prophecy: Prince Diponegoro and the end of an old order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press, 2008.
Komentar
Posting Komentar