Menikah dengan Keris?
Sekira bulan Mei 2016 lalu, pernah baca berita wanita yang menikah dengan keris? Eh maksudnya karena sang suami berhalangan hadir maka kehadirannya diwakili keris. Cerita ini bermula dari Mbak Gitaditya Witono dan pasangannya. Perempuan ayu yang akrab disapa Gita ini dengan penuh ketegaran harus melewati prosesi resepsi pernikahannya seorang diri tanpa didampingi pasangannya. Di hari pernikahannya yang seharusnya diliputi kebahagiaan, ia justru harus menahan tangis karena tak bisa berdampingan di pelaminan dengan pria yang kini telah menjadi suaminya. Dia justru hanya menggandeng sebuah keris dengan tangan kirinya sebagai lambang dari lengan pasangannya yang nggak bisa hadir di resepsi itu. Kisah ini laik diabadikan karena jarang terjadi dan menyadarkan kembali kita untuk meresapi kembali akan makna dan fungsi sosial keris di masyarakat.
Kedudukan keris dalam kebudayaan Jawa, selain mengandung
ide tertentu yang dipercaya oleh masyarakat juga digunakan untuk menandakan
aspek sosial tertentu. Keris merepresentasikan berbagai gagasan juga mempunyai beragam
fungsi dari awalnya sebagai senjata tikam, alat hukuman mati, atribut
keprajuritan, tanda kerajaan, manifestasi falsafah, identitas diri keluarga,
tanda pangkat, tanda jasa, lambang persaudaraan, wakil pribadi, tanda
penghormatan, kelengkapan busana resmi, lambang peringatan, warisan, atribut
upacara/sesaji, barang pusaka/wasiat, azimat, mulai beralih fungsi menjadi benda
seni, benda ekonomi, benda antropologi/etnografi, benda koleksi, benda
investasi, benda cenderamata (souvenir), saksi sejarah, sebagai lambang
kesatuan daerah, dan merek dagang (Haryono Haryoguritno, Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar: 37-50).
Pada zaman dahulu, seorang pria dianggap seperti telanjang
bila keluar rumah tidak mengenakan keris. Tradisi pemakaian keris dulu bahkan
sudah dilakukan sejak kanak-kanak. Setidaknya, menurut kesaksian Ma Huan,
seorang pengelana Cina yang datang ke Majapahit, pada saat dia mengunjungi
Majapahit seluruh pria Jawa mengenakan keris, bahkan anak-anak usia 5 tahun pun
sudah dibekali keris. Keris bagi seorang laki-laki selain menyimbolkan harga
diri yang dikembangkan sejak zaman leluhurnya, juga melambangkan kehadirannya.
Jika seorang pengantin pria berhalangan
hadir karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan/ darurat pada pernikahannya, kehadirannya dapat diwakilkan dengan keris pusakanya. Dalam kultur jawa, keris adalah
representasi dari kehadiran pria. Namun tentu saja, alasan perwakilan melalui
keris harus didasari dengan pertimbangan aspek yang mendesak dan darurat. Semisal sakit keras seperti suaminya mbak Gita ini sah bila diwakilkan. Bila
di luar aspek tersebut maka wajib hukumnya mempelai pria hadir mendampingi
mempelai wanita. Nanti kalau ndak didampingi malah bisa diambil tamu undangan
yang hadir hehehe.
*sumber foto: sooperboy.com
Komentar
Posting Komentar