Yoni Keris, Apakah itu?
Dalam tradisi pemulian
tosan aji dikenal istilah Yoni. Yoni dalam hal ini berbeda dengan Yoni dalam terminologi
purbakala. Yoni (Sanskerta: योिन;
yoni) menurut terminologi adalah bagian/tempat (kandungan) untuk melahirkan. Yoni
juga mempunyai banyak arti seperti sumber, asal, sarang, rumah, tempat duduk,
kandang, tempat istirahat, tempat
penampungan air, dan lain-lain. Secara umum bentuknya cekung atau berlubang,
yang melambangkan kemaluan wanita (vagina). Objek ini merupakan lambang kesuburan. Di beberapa
daerah di Indonesia yoni disebut juga lesung batu karena menyerupai sebuah lesung yang terbuat dari batu. Selain itu, Yoni merupakan
bagian dari bangunan suci dan ditempatkan di bagian tengah ruangan suatu
bangunan suci. Yoni biasanya dipergunakan sebagai dasar arca atau lingga.
Berbeda
dengan pengertian umum yang muncul, Yoni dalam istilah perkerisan merupakan berkah
dari Tuhan yang dimintakan oleh empu pada saat pembuatan keris, dengan ritual
doa dan sesaji tertentu. Tradisi masyarakat jawa pada jaman dulu yang kemudian
berkembang untuk memuliakan Yoni, para pemiliknya lantas melakukan ritual doa
dan sesaji. Perlakuan dengan doa mantra secara berkala, ditambah dengan
pengepulan asap kemenyan dan sesajen tertentu, diyakini dapat menjaga
keselarasan penyatuan isi keris (yoni) dan bilah keris (lingga). Hal itu juga
ditujukan untuk menyelaraskan kecocokan yoni keris dengan pemiliknya. Ada
beberapa cara yang dilakukan untuk mengetahui yoni dari sebilah pusaka keris atau
tosan aji yang dipunyai;
Cara paling umum yang
sering digunakan dalam menayuh sebilah pusaka keris atau tosan aji bisanya
dengan cara meletakkan keris yang hendak di-tayuh ditaruh di bawah bantal,
sambil bermohon mendapat mimpi tentang yoni keris itu. Jika dalam mimpi ia
merasa mendapat respons positif dan merasakan suasana nyaman, menyenangkan, dan
penuh harapan, maka ia dapat menilai yoni keris itu memang cocok dengan
dirinya. Gambaran dinilai positif dalam mimpi adalah bila tampak wanita cantik,
anak kecil yang menyenangkan, pria muda yang gagah dan tampan, pria atau wanita
tua yang kebapakan atau keibuan, kakek-nenek yang berwibawa, atau ular dan
singa yang jinak, sedangkan penampakan yang bersifat negatif, yaitu munculnya
gambaran hewan liar dan ganas, makhluk yang menakutkan dengan bentuk kacau tak
beraturan, atau wujud orang dengan sikap bermusuhan. Gambaran yoni keris yang
negatif tersebut dapat dikatakan tidak cocok dengan pemiliknya.
Metode penayuhan melalui
mimpi tidak menjadi jaminan bahwa apa yang tampak merupakan wujud asli dalam
keris atau benda tersebut. Bisa jadi bahwa yang didapatnya itu sebenarnya bukan
informasi asli dari yoni keris, melainkan bisa juga dari makhluk halus maupun
roh yang kebetulan mampir di situ, atau mungkin hanya sugesti pribadinya saja. Dalam
konteks tertentu, penayuhan melalui mimpi hanya menjadi satu bagian tradisi
yang masih diyakini kebenarannya oleh sebagian kolektor keris.
Cara tradisional lain yang
biasa dilakukan untuk mengetahui cocok tidaknya yoni keris dengan calon
pemiliknya biasanya dilakukan dengan mengukur bilah keris dengan jempol ibu
jari. Panjang bilah keris diukur mulai dari pangkal hingga ujungnya, dengan
satuan lebar ibu jari tangan calon pemilik, secara bergantian kiri dan kanan,
sambil dihitung berapa kali ibu jari itu menjejak hingga ujung runcingnya. Jumlah
hitungan menggunakan ibu jari itu, kemudian dikurangi kelipatan lima, lalu
sisanya dilihat menurut pètungan (perhitungan) di bawah ini:
1.Siti: berarti pusaka
itu baik dan teduh untuk dimilikinya, serta mendapatkan izin dari Tuhan untuk mendapat
manfaatnya.
2.Sengkali: berarti
pusaka itu diizinkan oleh Tuhan untuk dapat menolongnya, namun bila pemiliknya
marah akan membahayakan.
3.Arjuna Mangan Ati:
berarti pusaka itu diizinkan Tuhan sangat hebat kesaktiannya, namun membawa
sifat pemarah.
4.Randha Tunggu Donya:
berarti pusaka itu diizinkan Tuhan dapat memudahkannya dalam mencapai
kemakmuran.
5.Dhandhang Tunggu Nyawa:
berarti pemiliknya akan mandapat efek buruk dari pusaka itu. (Romo RDS
Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini, 2009; 120).
Metode lain yang
dilakukan biasanya dengan cara membawa keris atau koleksi tosan aji tersebut
kepada orang yang dianggap memahami spiritual seperti kyai, paranormal, dll.
Keris tersebut diserahkan dan kemudian paranormal/kyai/orang pintar tersebut
yang dianggap dianugerahi kemampuan batiniyah. Setelah meliat atau memegangnya,
meraka lantas menjelaskan seluk beluk
yoni yang seringkali diterjemahkan sebagai kodam kepada pemiliknya. Disinilah pangkal
mula beralihnya makna yoni sebagai berkah menjadi kodam (jin/makhluk halus)
yang mengisi benda tersebut. Seringkali kemudian muncul permintaan dari mereka
agar diberikan sesaji/makanan tertentu yang disediakan setiap malam tertentu. Dalam
hal ini penulis menyarankan agar tidak tergoda untuk melakukan hal ini karena
sifat dari jin seringkali menjerumuskan manusia kepada hal yang bertentangan
dengan agama.
Penulis mengajak agar
kita semua memaknai Yoni sebagai energi yang dihasilkan dari doa dan harapan yang
dipanjatkan oleh empu pembuat pada saat pembuatan keris atau tosan aji. Yoni
bukan berarti kodam yang menghuni keris atau tosan aji tersebut, namun sebagai
pengingat dan penyemangat pada saat kita mendalami dan menghayati tosan aji
tersebut. Yoni lahir dari pemaknaan kita pada saat melihat dan menghayati tosan
aji. Semisal kita menghayati keris dengan dhapur kebo (mahesa) misalnya, maka
kita dituntut untuk seperti kerbau yang senantiasa patuh pada pimpinan, kuat
dan senang bekerja keras. Pemaknaan ini akan menjadikan kita tidak melihat sisi
gaib jin dll yang akhirnya malah justru menjerumuskan dan menjauhkan kita dari
kebenaran. Selain itu, dalam ajaran agama hal itu dianggap bertentangan karena
akan menduakan Tuhan. Sehingga dalam konteks ini, hal baik yang didapatkan
adalah murni karena kehendakNya, karena sugesti yang kita internalisasikan.
Sebilah keris hanya akan bermanfaat bila digunakan untuk kebaikan dan menjadi
sarana pengingat diri bahwa masih ada kekuatan yang sejati yakni kekuatanNya.
Sumber:
Unggul Sudrajat, Dony Satriyo Wibowo. Keris: Materi
Muatan Lokal Bidang Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014 hlm. 64-66.
Sumber foto: hallobro.com
Komentar
Posting Komentar