Total Tayangan Halaman

Keris dan Watak Kebudayaan Islam oleh Ustadz Salim A. Fillah


KERIS dan WATAK KEBUDAYAAN ISLAM
Oleh: Salim A. Fillah
Pemerhati budaya pada Yayasan Mandat Mataram

إن الله جميل يحبّ الجمال
“Sesungguhnya Allah Maha Indah. Dia mencintai keindahan.” (HR Muslim)
Dalam memahami watak kebudayaan Islam, NU telah memasyhurkan kaidah penting, “Al muhafazhatu ‘alal qadimish shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah.” Maknanya, “Memelihara nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.” Orang Jawa punya istilah “Nunggak Semi”. Nunggak; kokoh memijak pada peninggalan lalu. Semi; terus tumbuh, berkembang, membaru.
Inilah yang terjadi dalam sejarah. Kecuali pada keberhalaan yang membobrokkan ruhani, merudinkan cara berfikir, serta memandegkan keluhuran budi; risalah yang dibawa Nabi tak hendak mengubur segala hasil peradaban lampau, melainkan memberinya pemaknaan baru, nilai-nilai yang kian meningkatkan marwah kehambaan dan harkat kemanusiaan insan. Dinar Romawi dan dirham Persia misalnya, tetap dipakai. Tapi diteguhkanlah prinsip anti riba, kejujuran, pemberantasan tipu-tipu serta kecurangan, keadilan timbangan, kejelasan transaksi, hingga kerapian administrasi.
Ketika dakwah Islam hadir di Nusantara, segala peninggalan masa lalu tak serta merta dihancurkan. Bahkan ia dirawat, dilanjutkan, dan diberi pemaknaan baru. Di antaranya adalah keris. Diteladani dari Nabi yang juga memiliki dan merawat beberapa pedang termasuk peninggalan moyangnya dan juga para Rasul terdahulu, keris di masa berkembangnya syiar Islam menjadi wahana dituangkannya  berbagai nilai spiritual untuk menjadi pengingat ‘sangkan paraning dumadi’ atau asal dan tujuan kehidupan manusia sebagai hamba Allah. Falsafah itu dituangkan dalam ratusan dhapur (bentuk keris) dan pola pamor yang masing-masingnya mengandung pemaknaan mendalam.

Sebagai contoh dhapur Jangkung adalah penanda harapan yang ‘jinangkung jinampangan’, dalam lindungan dan keberkahan dari Allah. Dikatakan bahwa, “Jangkung panganggenya, kudu jinangkung den eling.” Jika berharap, maka haraplah hanya kepada Allah dengan selalu berdzikir mengingatNya. Disertai pula sikap sumarah (ridha pada ketetapan Allah), sumeleh (tawakkal kepadaNya), dan mituhu (penuh ketaatan pada petunjuk dan nasehat Al Quran). Ada tersebut, pada zaman Sultan Agung, keris berdhapur Jangkung ini banyak beliau pesan sebagai hadiah untuk menumbuhkan cita-cita tinggi pada para nayaka maupun rakyatnya, dan memotivasi mereka menggapai harapan itu sesuai tuntunan Allah.

Contoh lain, pamor ‘Wos Wutah’, secara harfiah bermakna ‘Beras Tumpah’, dan ‘Pedharingan Kebak’ yang artinya ‘Lumbung nan Penuh’, adalah lambang harapan akan kemakmuran. Sebenarnya keliru jika orang meyakini bahwa dengan memiliki keris dengan dua jenis pamor ini lalu serta merta dia akan kaya raya. Pamor adalah keindahan di atas bilah yang seharusnya memicu inspirasi setiap kali memandangnya. Ketika seseorang nglaras dan menyeksamai bilah keris, maka melihat gambaran beras yang sampai tertumpah-tumpah dan lumbung yang terisi penuh akan membuatnya bersemangat bekerja keras, menggarap lahan pertanian maupun menekuni usaha-usaha lainnya.

Kebanggaan akan hidayah Islam yang digapai masyarakat Jawa di masa Demak hingga Mataram misalnya, ditunjukkan dengan penciptaan warangka keris dengan bentuk ‘Wulan Tumanggal’ atau bulan sabit. Di masa selanjutnya, tercipta pula warangka berjenis Branggah dan Ladrang yang menjadikan keris merepresentasikan ‘Baita Tinitihan Jalma’ yang bermakna ‘perahu yang dikendarai oleh manusia’, sebagai penanda falsafah ‘Safinatun Najah’, perahu keselamatan, sebagaimana bahtera Nabi Nuh.

Dalam perkembangannya bersama syiar Islam, pada masa Sultan Agung dititahkan agar keris, tombak, dan pedang yang semula hanya boleh dimiliki para bangsawan, bisa dimiliki seluruh rakyat sehingga terjadilah massifikasi kebudayaan dan kesenian. Keris juga dijadikan sebagai penanda apresiasi. Para lurah prajurit menerima ganjaran tombak atau keris yang diserasah emas bergambar sada sakler, sapit landak, dan trisula. Pemimpin pasukan dan wadana kliwon mendapat ganjaran pusaka yang dikinatah lung-lungan atau ron-ronan. Para perwira tinggi pusakanya dikinatah bergambar gajah dan singa. Para kerabat dan patih diganjar pusaka yang dikinatah bunga anggrek.

Jadi pada masa itu tercatat 3 hal penting yaitu: pertama, perubahan keris dari benda elit yang semula hanya dimiliki para bangsawan menjadi boleh dimiliki masyarakat luas; kedua, penguatan nilai estetika keris dengan berbagai seni pendukungnya, dari kinatah hingga ukir warangka lengkapnya; dan yang ketiga, keris dijadikan sebagai wasilah apresiasi kepada yang berprestasi, jalinan hubungan baik, dan hadiah tanda persaudaraan seperti yang beliau berikan pada pengusa Jambi, Palembang, Makassar, dan Cirebon.

Sesuai semangat Islam, saat diajukan sebagai Warisan Dunia pada UNESCO, sudah jadi amanat untuk membebaskan keris dari zaman jahiliah; antara yang mengklenikkan dan yang menganggapnya selalu klenik. Ia perlu dibawa ke asalnya sebagai ilmu; dari metalurgi, seni, filosofi, hingga sejarahnya.
Adalah Ir. Haryono Arumbinang, M.Sc. dan Soedyartomo Soentono, M.Sc., Ph.D., pakar kimia nuklir BATAN; menggunakan spektrometri sinar gamma dari radiasi isotop Fe-55, Cd-109, dan Am-241 untuk menguji beberapa keris dari berbagai era pembuatan.

Dengan Multi Channel Analyzer Ortec dan detektor Silicium-Lithium (Si-Li) yang didinginkan dalam suhu (-198 °C) serta dilengkapi kamera polaroid; didapat hasil menakjubkan. Keris dari masa sebelum Nom-noman (terbelahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta pada 1755), justru didominasi pamor berbahan Titanium dan bukannya nikel seperti diduga sebelumnya. Logam ini berat jenisnya hanya separuh besi dan nikel, tapi tingkat kekerasannya 4 kali lipat besi dan 2,5 kali nikel. Istimewanya, pada suhu yang bertambah ia membentuk lapisan oksida pelindung yang tahan asam serta lebih kuat dari baja, dan berbeda dengan baja yang karena adanya karbon menjadi getas ketika keras, ia tetap kukuh dan liat. Titik lebur unsur bernomor atom 22 dan bermassa 47,867 ini juga jauh lebih tinggi dibanding besi dan nikel yakni pada 3034 °F dan mendidih pada suhu 5949 °F.

Sejak penemuannya pada 1791 di Eropa, baru pada 1946 William Justin Kroll membuktikan bahwa titanium bisa diperoleh dengan mereduksi titanium tetraklorida dengan magnesium. Di zaman kita, industri kedirgantaraan adalah pengguna terbesar dari paduan titanium, sebagai bahan body pesawat, berbagai bagian mesin, roda pendaratan, dan tubing hidrolik. Menyusul kemudian industri medis, rekayasa kelautan, riset antariksa, hingga perhiasan.

Ditemukan bahwa titanium, yang diperkirakan didapat para Empu kuno dari meteorit bersama besi, zirkonium, stibium, dan niobium masih pula dipadu dengan anasir lain dalam pamor seperti krom, perak, timah putih, emas, dan kalsium yang mungkin sengaja ditambahkan untuk menghilangkan fosfor.
Inilah keris; adikarya dahsyat budaya Nusantara yang terwaris karena kecanggihan teknologinya. Seni lipat-tempa keris yang berlapis-lapis masih menanti riset-riset serius.

Estetika, filosofi, dan sejarahnya juga akan jadi objek riset menarik. Hingga kini, terdata sekira 240 dhapur (tampilan), 140 pola pamor, ratusan nama bagian bilah, gagang, warangka serta gaya juga ragam hiasnya, ditambah tangguh (era) yang membentang dari Kabudan hingga Kamardikan dengan ciri-ciri khasnya masing-masing. Bagi para pencinta; setiap lekuk dan liuk, setiap sudut dan denyut, setiap lubang dan bidang dari yang dicintai adalah sejarah. Begitulah keris menyertai berbagai peristiwa dalam peradaban bersama bagian-bagiannya yang rinci, menjadi saksi yang bercerita apa yang telah terjadi. Kita ambil 1 contoh; ada kinatah emas di wuwungan ganja keris yang bergambar Gajah-Singa. Tepatnya disebut "Gajah Nggiwar Singa Nggero". Makna harfiahnya, "Gajah ketakutan menghindar, singa mengaum keras."

Keris yang diberi kinatah semacam ini asalnya adalah hadiah Sultan Agung untuk para Tumenggungnya ketika memadamkan pemberontakan sepupunya, Adipati Pragola II di Pati pada tahun 1636. Singa lambang Mataram dilukiskan mengaum sebagai tanda kemenangan. Gajah lambang Pati, menghindar karena gentar.

Sebagai Candra Sengkala (penanda tahun lunar), kinatah ini dibaca "Gajah Singa Keris Tunggal". Ia menunjuk angka (Gajah: 8, Singa: 5, Keris: 5, Tunggal: 1), dibaca dari belakang menjadi Tahun Jawa 1558, sama dengan tahun 1636 M. Inilah tahun kepahlawanan Tumenggung Wiraguna yang melahirkan roman Rara Mendut-Pranacitra; tak kalah tragis dari kisah Layla-Majnun.

Bermula dari filosofi, dijalankan dengan ilmu, berakhir pada seni. Keris adalah wakil filosofis kebudayaan kita yang indah. Akhirnya disimpulkan, semangat pengakuan keris oleh UNESCO sebagai intangible heritage, sejalan dengan watak kebudayaan Islam untuk membawa peninggalan adiluhung ini ke ranah saintifik, estetik, filosofis, dan historis.

*Artikel ini telah terbit di Warta Balitbang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Selengkapnya, klik:
https://issuu.com/litbangdikbud/docs/14122018_warta_ed2_print_rev

Komentar

Postingan Populer