Total Tayangan Halaman

Parung Sari


Mentari sore ini masih malu-malu untuk segera menerjunkan dirinya di langit batas senja. Saat melihat kembali coretan-coretan kecil di buku harianku, wawancara dengan seorang yang dikaruniai kompleksitas anugerah dalam hidupnya, tiba-tiba saja tangan ini menyentuh tuts-tuts kecil laptop pinjaman dan menuliskan sebait ceritera yang mungkin bisa dibagi dengan temen-temen disini.

Catatan kecil ini bermula pada suatu malam, dalam diskusi kecil di belakang rumah, sambil menimang-nimang sebilah keris di tangannya, tiba-tiba saja muncul celetukan saya tentang keris yang sedang dipegangnya.

"Mohon maaf bapak, itu keris apa? tanyaku penasaran.

"Parung Sari, luk 13". jawab beliau singkat sambil menyerahkan keris itu kepadaku untuk kupegang. sambil takjub mengamati tiap detailnya bagiannya, dengan lugu dan sok ilmiah muncul lagi terusan dari pertanyaan yang tadi,

"Katanya setiap dhapur keris mempunyai makna, filosofi yang tersembunyi yang harus di interpretasikan secara subjektif dan bijak oleh penginterpretasinya, kalau saya boleh tahu, apa makna dhapur parung sari ini?"

"Parung diartikan sebagai lembah dan sari oleh banyak kalangan dikenal sebagai bunga. Suatu lembah yang dipenuhi dengan bunga-bunga, mungkin itulah pemaknaan paling sederhana dari dapur keris yang satu ini. Dalam kehidupan ini, manusia selalu dituntut untuk berproses, berjuang untuk mencapai harapan dan cita-citanya. Bagi kebanyakan orang, kadangkala pintu terakhir hidupnya yang diharapkan adalah kesuksesan, kemuliaan, kekayaan, keluarga, harta yang melimpah, jabatan dan lebih banyak segala hal yang bersifat material. memang tidak selalu seperti itu, ada beberapa insan yang kemudian mampu melepaskan diri dari jebakan material demi mengharapkan kedamaian semata, kesatuan atma-nya dengan Sang Pencipta.

"Tidak dapat dipungkiri memang, itulah kehidupan dengan segala bunga-bunga didalamnya. hidup ini pilihan bagi kita semua, semua berhak memilih keyakinan dan kebenaran yang diyakininya. semuanya berhak untuk memilih sendiri lembah kehidupan yang akan dia pijaki. namun yang terpenting dari itu semua, dimanapun lembah yang kita pilih untuk didiami, kita tidak melupakan darma yang harus selalu kita berikan untuk kehidupan ini, dengan selalu berharap agar darma kita kan memunculkan bunga-bunga yang mampu harumkan diri hingga saat menuju kepadaNya untuk pertanggungan jawab".

"Sehingga dengan perbuatan yang baik, kita akan mampu menuliskan sejarah kita dengan tinta yang akan melekat di sanubari setiap insan. keberadaan kita menjadi penting, selalu diharapkan menjadi sisihan oleh siapa saja yang mengenal kita. Disitulah kita kan dapati keseimbangan kehidupan, bahwa kita bermakna dan berguna bagi orang lain, ngiyasi tiyasing sesami. orang yang hanya berfikir untuk kepentingannya sendiri, seakan ingin memiliki segalanya sendiri, justru telah melupakan hakikat dari kebersamaan yaitu berbagi. itulah makna kehidupan sesungguhnya yang terangkum dalam dhapur Parung Sari ini. Sekali lagi, pemaknaan ini bersifat subjektif, dari diri saya sendiri yang mungkin tidak sesuai bagi orang lain, tidak sependapat. namun disini, nilai inilah yang menjadikan keris sebagai mahakarya agung nenek moyang kita yang terbukti memiliki keagungan dan sarat nilai kehidupan."

Tertegun mendengarkan penjelasan tersebut, apalagi bagi orang awam seperti saya. Hening sebentar, hanya senyum yang kemudian kulihat dari sosok yang sudah berumur 80 tahun ini. walaupun sudah berumur senja, namun pancaran wajah dan sorot matanya masih menyiratkan harapan akan perubahan. perubahan dalam segala hal, khususnya bagi dunia perkerisan yang ia akui telah menjadi belahan jiwanya. Sosok yang telah mengenal keris sejak kecil ini, dipadu dengan bimbingan beberapa maestro-maestro keris pada zamannya, tumbuh dengan idealismenya tentang dunia perkerisan. Dia telah mampu menuliskan tinta emas sejarahnya dengan baik saat menapaki "Parung Sari"nya. Dialah Haryono Haryoguritno, kehidupannya saat ini sedang coba dituliskan sebagai catatan sejarah berharga yang akan diwariskan kepada bangsa yang sangat dicintainya, Indonesia.

Caringin, Bogor, 27 April 2011

Unggul Sudrajat
-Catatan dikala diklat kebudayaan.-

Komentar

Postingan Populer